BISAKAH DENDA Rp. 500.000 DITETAPKANTERHADAP SPT MASA PPN YANG TERLAMBAT LAPOR
Sejak terjadinya Pembaharuan
Perpajakan Nasional (tax reform) Tahun 1983, telah disyahkan
Undang-undang Perpajakan yang lebih mengakomodir keinginan masyarakat. Dalam
Penjelasan bagian Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) disebutkan bahwa
“Sistem perpajakan yang berlaku dewasa ini, khususnya Pajak Penjualan 1951,
tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mancapai
sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan
negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak. Dalam rangka itulah
dengan dilandasi pertimbangan yang seksama tentang kemampuan rakyat, rasa
keadilan dan kebutuhan pembangunan serta untuk mendorong dan meningkatkan daya
saing komoditi ekspor non minyak di pasaran luar negeri, dengan dukungan
kondisi dan kemampuan aparat perpajakan yang terus berkembang, pajak penjualan
dengan sistem pengenaan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang
mewah ini diberlakukan untuk menggantikan pajak penjualan yang sekarang
berlaku”.
Ada hal menarik lainnya saat
terjadinya tax reform tersebut, yaitu sebelumnya hukum pajak formal dan
material digabung dalam satu Undang-undang (UU). Hal tersebut terlihat dalam
Ordonansi Pajak Pendapatan (PPd.) 1944, Ordonansi Pajak Perseroan (PPs.) 1925.
Setelah tax reform, maka hanya ada satu hukum pajak formal yang
digunakan untuk semua hukum pajak material, yaitu dalam UU Ketentuan Umum danTatacara Perpajakan (KUP). Dengan perubahan tersebut masing-masing ada
kelemahan dan kelebihannya.
Jika digabung, maka mempunyai
keuntunganyaitu lebih memungkinkan bagi ketentuan hukum pajak formal untuk
menyesuaikan dengan karakteristik dari hukum pajak materialnya, karena hanya
mengatur ketentuan formal untuk satu jenis UU pajak saja. Adapun kelemahannya
terutama bagi wajib pajak lebih sulit untuk mempelajari dan memahami ketentuan
pajak yang banyak jenisnya.
Jika hanya ada satu hukum pajak
formal, yaitu UU KUP seperti yang ada sekarang ini, mempunyai keuntungan yaitu
lebih sederhana dan memudahkan untuk dipelajari dan dipahami.Tetapi
kelemahannya sulit untuk menyesuaikan dengan ketentuan hukum pajak material
yang banyak dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga ketentuan
hukum pajak formalitu bersifat ketentuan umum dimana dalam undang-undang pajak
material juga disisipkan ketentuan hukum pajak formal tertentu yang merupakan
ketentuan khusus, termasuk UU PPN.
Sebelumnya, mari kita bahas
perbedaan antara hukum pajak formal dan hukum pajak material. Menurut Sudikno
Mertokusumo, Sumber hukum formil adalah tempat atau sumber hukum
darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan
bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. Sedangkan
sumber hukum materiil adalah tempat darimana materi hukum itu diambil.
Sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum,
contohnya hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomi,
tradisi atau pandangan keagamaan, hasil penelitian ilmiah, perkembangan
internasional, maupun keadaan geografis.
Sedangkan menurut Saut P. Panjaitan
mempunyai pendapat bahwa,Sumber hukum dalam arti formal adalah mengkaji
kepada prosedur atau tatacara pembentukan suatu hukum atau melihat kepada
bentuk lahiriah dari hukum yang bersangkutan, yang dapat dibedakan secara
tertulis maupun tidak tertulis. Sumber hukum dalam arti formal dalam bentuk
lahiriah atau tertulis seperti undang-undang, yurisprudensi, perjanjian atau
traktat, dan doktrin atau pendapat ahli hukum. Sedangkan sumber hukum dalam
arti formal yang tidak tertulis seperti kebiasaan. Sumber hukum dalam arti
materiil adalah faktor-faktor atau kenyataan-kenyataan yang turut
menentukan isi dari hukum. Isi hukum ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor
idiil dan faktor sosial masyarakat. Faktor idiil adalah faktor yang berdasarkan
kepada cita masyarakat akan keadilan. Sedangkan faktor sosial masyarakat
tercermin dalam bentuk struktur ekonomi, kebiasaan-kebiasaan, tata hukum negara
lain, agama dan kesusilaan serta kesadaran hukum.
Wasis juga mengemukakan tentang
pengertian sumber hukum formil dan pengertian sumber hukum materiil. Sumber
hukum materiil adalah sumber yang menentukan isi hukum. Dalam arti konkret
sumber hukum materiil berupa tindakan manusia yang dianggap sesuai dengan apa
yang seharusnya dilakukan. Sedangkan sumber hukum dalam arti formil akan
menentukan berlakunya suatu kaidah menjadi hukum secara resmi atau formal. Atau
dengan kata lain, sumber hukum formil adalah sumber hukum yang akan menentukan
berlakunya hukum, berdasarkan pada tatacara dan bentuk hukum yang diberlakukan.
Menurut pandangan umum sumber hukum formil antara lain undang-undang atau
peraturan perundang-undangan, kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian dan doktrin.
Dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan, hukum pajak material berisi tentang subyek dan obyek pajak dan
bagaimana cara menghitung pajaknya. Sedangkan hukum pajak formal berisi tentang
ketentuan-ketentuan yang menentukan berlakunya hukum pajak material secara
formal dan supaya hukum pajak material tersebut dapat dijalankan dan dipatuhi.
Contoh
hukum pajak formal adalah UUNomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun2009 Tentang Ketentuan Umum dan
Tatacara Perpajakan (UU KUP).Sedangkan contoh
hukum pajak material antara lain UU PPN dan UU Pajak Penghasilan (UU PPh).
UU PPN merupakan hukum pajak
material.Namun materi muatan beberapa pasal diantaranya berisi ketentuan
formal, antara lain pasal 13 ayat (5) tentang keterangan yang harus dicantumkan
dalam faktur pajak; Pasal 13 ayat (6) tentang dokumen yang kedudukannya
dipersamakan dengan faktur pajak; Pasal 15A ayat (1) tentang jangka waktu
penyetoran PPN; Pasal 15A ayat (2) tentang jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa PPN; Penjelasan Pasal 9 ayat (4f) tentang sanksi 2%
per bulan paling lama 24 bulan atas Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang
dilakukan pemeriksaan setelah kepadanya diberikan pembayaran pendahuluan
kelebihan pajak; dan sebagainya.
Kali ini kita hanya akan membahas
ketentuan formal dalam Pasal 15A ayat (2) UU PPN. Pasal 15A ayat (2) UU PPNberbunyi “SPT Masa PPN disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelahberakhirnya Masa Pajak”.
Ketentuan formal tentang jangka
waktu penyampaian SPT Masa sebetulnya telah diatur dalam UU KUP. Menurut Pasal3 ayat (3) UU KUP disebutkan bahwa “batas waktu penyampaian SPT adalah:
a.
untuk SPT Masa, paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah akhir Masa Pajak
- untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
- untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak”.
Dapat kita lihat bahwa terdapat
perbedaan antara ketentuan dalam UU PPN dengan UU KUP mengenai jatuh tempo
penyampaian SPTMasa PPN. Atas perbedaan tersebut kita akan menggunakan
asashukum lex specialis derogat lex generalis sehingga kita dapat
memilih untuk menerapkan UU PPN sebagai UU yang lebih khusus.
Namun bagaimana apabila ketentuan
formal dalam Pasal 15A ayat (2) UU PPN tersebut dilanggar oleh Wajib Pajak?
Tentunya ada sanksi yang harus diterapkan ketika hal itu terjadi. Biasanya
Pasal yang digunakan adalah Pasal 7 UU KUP yaitu denda sebesar Rp. 500.000,-
untuk setiap masa pajak.
Di dalam Penjelasan Pasal 15A UU PPN
disebutkan bahwa “Dalam rangka memberikan kelonggaran waktu kepada Pengusaha
Kena Pajak (PKP) untuk menyetor kekurangan pembayaran pajak dan menyampaikan
SPT Masa PPN, Pasal ini mengatur secara khusus mengenai batas akhir pembayaran
dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang berbeda
dengan yang diatur dalam UU KUP”.
Penjelasan berikutnya berbunyi
“Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran pajak terutang berdasarkan
SPT Masa PPN
dan/atau keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Pasal ini, PKP tetap dikenai sanksi administrasi sebagaimana
diatur dalam UU KUP”.
Untuk menjawab pertanyaan itu, mari
kita uraikan dahulu Pasal 7 UU KUP. Pasal 7 UU KUP berbunyi “Apabila Surat
Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4),
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar
Rp1.000.000,00 (satu Juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan
PajakPenghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000.00 (seratus ribu
rupiah) untukSurat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang
pribadi”.
Pasal 3 ayat (3) UU KUP sudah kita
sebutkan di atas, sedangkan Pasal 3 ayat (4) UU KUP berbunyi “Wajib Pajak dapat
memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan TahunanPajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan
dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain
kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan”.
Jadi kita pertegas lagi bahwa Pasal
7 UU KUP diterapkan apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT sesuai dengan
jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (4)
UU KUP. Pasal 3 ayat (3) UU KUP hanya menyatakan untuk SPTMasa disampaikan
paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak.
Walaupun dalam Penjelasan Pasal 15AUU PPN menyebutkan bahwa “Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran pajak
terutang berdasarkan SPT Masa PPN dan/atau keterlambatan penyampaian SPT Masa
PPN sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal ini, PKP tetap dikenai
sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam UU KUP”, namun demikian Pasal 7 UU
KUP sendiri tidak menyebutkan sama sekali tentang pelanggaran Pasal 15A ayat
(2) UU PPN. Pasal 7 UU KUP hanya menyebut pelanggaran Pasal 3 ayat(3) dan Pasal
3 ayat (4). Jadi, bisakah Pasal 7 UU KUP sebesar Rp. 500.000,- diterapkanuntuk SPT Masa PPN yang terlambat disampaikan?
Kesimpulan dan saran
Selama ini Direktorat Jenderal Pajak
menerapkan sanksi denda sebesar Rp. 500.000,- untuk setiap masa pajak ketika
Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa PPNnya. Namun menurut penulis,
dasar hukum yang digunakan yaitu Pasal 7 UU KUP masih perlu ditelaah lebih
dalam. Kita boleh saja menggunakan UU PPN dalam menentukan jatuh tempo
penyampaian SPT Masa PPN melalui asas hukum lex specialis derogat lex
generalis. Tapi sebaiknya sanksi pelanggarannya dimasukkan dalam satu paket
UU yang sama (dalam hal ini UU PPN) sehingga sanksi pelanggaran benar-benar
jelas dasar hukumnya. Dalam
Penjelasan Pasal 15A UU PPN sangat jelas disebutkanbahwa Pasal 15A
memang berbeda dengan yang diatur dalam UU KUPdalam menentukansaat jatuh
tempo penyampaian SPT Masa PPN.Dalam Penjelasan Pasal 15A UU PPN
dijelaskan pula bahwa dalam hal terjadi keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN,
PKP tetap dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam UU KUP. Namundemikian
dalam Pasal 7 UU KUP hanya menyebutkan bahwa bahwa Pasal 7 UU KUP
tersebuthanya berlaku terhadap pelanggaran Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 3
ayat (4) UU KUPdan tidak menyebut sama sekali pelanggaran atas Pasal 15A
UU PPN.
Pemerintah perlu berhati-hati ketika
memasukkan ketentuan formal dalam UU pajak material sehingga tidak terdapat
kebingungan ketika diterapkan. Hukum Pajak Formal (dalam hal ini UU KUP)
seharusnya bertugas memastikan ketentuan dalam UU pajak material dapat
diterapkan dan dipatuhi. Sehingga menurut penulis, seharusnya ketentuan formal
dikembalikan saja untuk diatur dalam UU Pajak Formal. Jika ketentuan formal
tetap dimasukkan ke dalam UU Pajak Material, maka sanksi pelanggarannyapun
sebaiknya diatur di UU yang sama yaitu UU PPN agar dipastikan ada konektifitas
secara langsung dan ada dasar hukum yang kuat atas pengenaan sanksi sehingga
tidak membingungkan ketika diterapkan. Dalam hal ini harus disebutkan pula di
UU PPN jika melanggar Pasal 15A dikenakan sanksi denda sebesar Rp.500.000,-.
Post a Comment
Post a Comment