Unknown Unknown Author
Title: Denda Lapor SPT PPN
Author: Unknown
Rating 5 of 5 Des:
BISAKAH DENDA Rp. 500.000 DITETAPKANTERHADAP SPT MASA PPN YANG TERLAMBAT LAPOR Sejak terjadinya Pembaharuan Perpajakan Nasional ( tax r...
BISAKAH DENDA Rp. 500.000 DITETAPKANTERHADAP SPT MASA PPN YANG TERLAMBAT LAPOR
Sejak terjadinya Pembaharuan Perpajakan Nasional (tax reform) Tahun 1983, telah disyahkan Undang-undang Perpajakan yang lebih mengakomodir keinginan masyarakat. Dalam Penjelasan bagian Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) disebutkan bahwa “Sistem perpajakan yang berlaku dewasa ini, khususnya Pajak Penjualan 1951, tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mancapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak. Dalam rangka itulah dengan dilandasi pertimbangan yang seksama tentang kemampuan rakyat, rasa keadilan dan kebutuhan pembangunan serta untuk mendorong dan meningkatkan daya saing komoditi ekspor non minyak di pasaran luar negeri, dengan dukungan kondisi dan kemampuan aparat perpajakan yang terus berkembang, pajak penjualan dengan sistem pengenaan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah ini diberlakukan untuk menggantikan pajak penjualan yang sekarang berlaku”.
Ada hal menarik lainnya saat terjadinya tax reform tersebut, yaitu sebelumnya hukum pajak formal dan material digabung dalam satu Undang-undang (UU). Hal tersebut terlihat dalam Ordonansi Pajak Pendapatan (PPd.) 1944, Ordonansi Pajak Perseroan (PPs.) 1925. Setelah tax reform, maka hanya ada satu hukum pajak formal yang digunakan untuk semua hukum pajak material, yaitu dalam UU Ketentuan Umum danTatacara Perpajakan (KUP). Dengan perubahan tersebut masing-masing ada kelemahan dan kelebihannya.
Jika digabung, maka mempunyai keuntunganyaitu lebih memungkinkan bagi ketentuan hukum pajak formal untuk menyesuaikan dengan karakteristik dari hukum pajak materialnya, karena hanya mengatur ketentuan formal untuk satu jenis UU pajak saja. Adapun kelemahannya terutama bagi wajib pajak lebih sulit untuk mempelajari dan memahami ketentuan pajak yang banyak jenisnya.
Jika hanya ada satu hukum pajak formal, yaitu UU KUP seperti yang ada sekarang ini, mempunyai keuntungan yaitu lebih sederhana dan memudahkan untuk dipelajari dan dipahami.Tetapi kelemahannya sulit untuk menyesuaikan dengan ketentuan hukum pajak material yang banyak dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga ketentuan hukum pajak formalitu bersifat ketentuan umum dimana dalam undang-undang pajak material juga disisipkan ketentuan hukum pajak formal tertentu yang merupakan ketentuan khusus, termasuk UU PPN.
Sebelumnya, mari kita bahas perbedaan antara hukum pajak formal dan hukum pajak material. Menurut Sudikno Mertokusumo, Sumber hukum formil adalah tempat atau sumber hukum darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. Sedangkan sumber hukum materiil adalah tempat darimana materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, contohnya hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi atau pandangan keagamaan, hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, maupun keadaan geografis.
Sedangkan menurut Saut P. Panjaitan mempunyai pendapat bahwa,Sumber hukum dalam arti formal adalah mengkaji kepada prosedur atau tatacara pembentukan suatu hukum atau melihat kepada bentuk lahiriah dari hukum yang bersangkutan, yang dapat dibedakan secara tertulis maupun tidak tertulis. Sumber hukum dalam arti formal dalam bentuk lahiriah atau tertulis seperti undang-undang, yurisprudensi, perjanjian atau traktat, dan doktrin atau pendapat ahli hukum. Sedangkan sumber hukum dalam arti formal yang tidak tertulis seperti kebiasaan. Sumber hukum dalam arti materiil adalah faktor-faktor atau kenyataan-kenyataan yang turut menentukan isi dari hukum. Isi hukum ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor idiil dan faktor sosial masyarakat. Faktor idiil adalah faktor yang berdasarkan kepada cita masyarakat akan keadilan. Sedangkan faktor sosial masyarakat tercermin dalam bentuk struktur ekonomi, kebiasaan-kebiasaan, tata hukum negara lain, agama dan kesusilaan serta kesadaran hukum.
Wasis juga mengemukakan tentang pengertian sumber hukum formil dan pengertian sumber hukum materiil. Sumber hukum materiil adalah sumber yang menentukan isi hukum. Dalam arti konkret sumber hukum materiil berupa tindakan manusia yang dianggap sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan. Sedangkan sumber hukum dalam arti formil akan menentukan berlakunya suatu kaidah menjadi hukum secara resmi atau formal. Atau dengan kata lain, sumber hukum formil adalah sumber hukum yang akan menentukan berlakunya hukum, berdasarkan pada tatacara dan bentuk hukum yang diberlakukan. Menurut pandangan umum sumber hukum formil antara lain undang-undang atau peraturan perundang-undangan, kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian dan doktrin.
Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, hukum pajak material berisi tentang subyek dan obyek pajak dan bagaimana cara menghitung pajaknya. Sedangkan hukum pajak formal berisi tentang ketentuan-ketentuan yang menentukan berlakunya hukum pajak material secara formal dan supaya hukum pajak material tersebut dapat dijalankan dan dipatuhi.
UU PPN merupakan hukum pajak material.Namun materi muatan beberapa pasal diantaranya berisi ketentuan formal, antara lain pasal 13 ayat (5) tentang keterangan yang harus dicantumkan dalam faktur pajak; Pasal 13 ayat (6) tentang dokumen yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak; Pasal 15A ayat (1) tentang jangka waktu penyetoran PPN; Pasal 15A ayat (2) tentang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN; Penjelasan Pasal 9 ayat (4f) tentang sanksi 2% per bulan paling lama 24 bulan atas Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang dilakukan pemeriksaan setelah kepadanya diberikan pembayaran pendahuluan kelebihan pajak; dan sebagainya.
Ketentuan formal tentang jangka waktu penyampaian SPT Masa sebetulnya telah diatur dalam UU KUP. Menurut Pasal3 ayat (3) UU KUP disebutkan bahwa “batas waktu penyampaian SPT adalah:
a.                   untuk SPT Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak
  1. untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
  2. untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak”.
Dapat kita lihat bahwa terdapat perbedaan antara ketentuan dalam UU PPN dengan UU KUP mengenai jatuh tempo penyampaian SPTMasa PPN. Atas perbedaan tersebut kita akan menggunakan asashukum lex specialis derogat lex generalis sehingga kita dapat memilih untuk menerapkan UU PPN sebagai UU yang lebih khusus.
Namun bagaimana apabila ketentuan formal dalam Pasal 15A ayat (2) UU PPN tersebut dilanggar oleh Wajib Pajak? Tentunya ada sanksi yang harus diterapkan ketika hal itu terjadi. Biasanya Pasal yang digunakan adalah Pasal 7 UU KUP yaitu denda sebesar Rp. 500.000,- untuk setiap masa pajak.
Di dalam Penjelasan Pasal 15A UU PPN disebutkan bahwa “Dalam rangka memberikan kelonggaran waktu kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk menyetor kekurangan pembayaran pajak dan menyampaikan SPT Masa PPN, Pasal ini mengatur secara khusus mengenai batas akhir pembayaran dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang berbeda dengan yang diatur dalam UU KUP”.
Penjelasan berikutnya berbunyi “Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran pajak terutang berdasarkan             SPT Masa PPN dan/atau keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal ini, PKP tetap dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam UU KUP”.
Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita uraikan dahulu Pasal 7 UU KUP. Pasal 7 UU KUP berbunyi “Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu Juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan             PajakPenghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000.00 (seratus ribu rupiah) untukSurat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi”.
Pasal 3 ayat (3) UU KUP sudah kita sebutkan di atas, sedangkan Pasal 3 ayat (4) UU KUP berbunyi “Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan TahunanPajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”.
Jadi kita pertegas lagi bahwa Pasal 7 UU KUP diterapkan apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (4) UU KUP. Pasal 3 ayat (3) UU KUP hanya menyatakan untuk SPTMasa disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak.
Walaupun dalam Penjelasan Pasal 15AUU PPN menyebutkan bahwa “Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran pajak terutang berdasarkan SPT Masa PPN dan/atau keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal ini, PKP tetap dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam UU KUP”, namun demikian Pasal 7 UU KUP sendiri tidak menyebutkan sama sekali tentang pelanggaran Pasal 15A ayat (2) UU PPN. Pasal 7 UU KUP hanya menyebut pelanggaran Pasal 3 ayat(3) dan Pasal 3 ayat (4). Jadi, bisakah Pasal 7 UU KUP sebesar Rp. 500.000,- diterapkanuntuk SPT Masa PPN yang terlambat disampaikan?
Kesimpulan dan saran
Selama ini Direktorat Jenderal Pajak menerapkan sanksi denda sebesar Rp. 500.000,- untuk setiap masa pajak ketika Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa PPNnya. Namun menurut penulis, dasar hukum yang digunakan yaitu Pasal 7 UU KUP masih perlu ditelaah lebih dalam. Kita boleh saja menggunakan UU PPN dalam menentukan jatuh tempo penyampaian SPT Masa PPN melalui asas hukum lex specialis derogat lex generalis. Tapi sebaiknya sanksi pelanggarannya dimasukkan dalam satu paket UU yang sama (dalam hal ini UU PPN) sehingga sanksi pelanggaran benar-benar jelas dasar hukumnya. Dalam Penjelasan Pasal 15A UU PPN sangat jelas disebutkanbahwa Pasal 15A memang berbeda dengan yang diatur dalam UU KUPdalam menentukansaat jatuh tempo penyampaian SPT Masa PPN.Dalam Penjelasan Pasal 15A UU PPN dijelaskan pula bahwa dalam hal terjadi keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN, PKP tetap dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam UU KUP. Namundemikian dalam Pasal 7 UU KUP hanya menyebutkan bahwa bahwa Pasal 7 UU KUP tersebuthanya berlaku terhadap pelanggaran Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (4) UU KUPdan tidak menyebut sama sekali pelanggaran atas Pasal 15A UU PPN.
Pemerintah perlu berhati-hati ketika memasukkan ketentuan formal dalam UU pajak material sehingga tidak terdapat kebingungan ketika diterapkan. Hukum Pajak Formal (dalam hal ini UU KUP) seharusnya bertugas memastikan ketentuan dalam UU pajak material dapat diterapkan dan dipatuhi. Sehingga menurut penulis, seharusnya ketentuan formal dikembalikan saja untuk diatur dalam UU Pajak Formal. Jika ketentuan formal tetap dimasukkan ke dalam UU Pajak Material, maka sanksi pelanggarannyapun sebaiknya diatur di UU yang sama yaitu UU PPN agar dipastikan ada konektifitas secara langsung dan ada dasar hukum yang kuat atas pengenaan sanksi sehingga tidak membingungkan ketika diterapkan. Dalam hal ini harus disebutkan pula di UU PPN jika melanggar Pasal 15A dikenakan sanksi denda sebesar Rp.500.000,-.

About Author

Advertisement

Post a Comment

 
Top