Apa sih restitusi itu? Menurut Kamus
Bahasa Indonesia, restitusi (réstitusi) adalah ganti kerugian; pembayaran
kembali; penyerahan bagian pembayaran yang masih bersisa. Kaitannya dengan
pajak yang kita bayar kepada Negara, restitusi adalah pembayaran kembali pajak
yang telah dibayar oleh Wajib Pajak. Artinya, Negara membayar kembali atau
mengembalikan pajak yang telah dibayar. Undang-Undang KUP secara umum menyebut
restitusi sebagai pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Bagaimana cara meminta restitusi? Banyak orang mengira bahwa resitusi pajak harus melalui "pintu" pemeriksaan. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah karena sebelum modernisasi, sepengetahuan saya semua restitusi memang harus diperiksa. Restitusi diatur di Pasal 17 Undang-Undang KUP. Pasal itu memang mengatur tentang Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB). Perkembangan selanjutnya, Pasal 17 Undang-Undang KUP sudah "bertambah". Tetapi sejak sejak modernisasi dan berlakunya Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007 ada beberapa ketentuan baru yang memungkinkan restitusi tanpa melalui "pintu" pemeriksaan. Ditambah lagi kebijakan DJP sejak tahun 2014 ini yang memberikan target audit coverage ratio (ACR) tertentu. Sebelumnya, fungsi pemeriksaan lebih fokus kepada "keamanan" restitusi dan memastikan bahwa Wajib Pajak benar-benar berhak atas restitusi tersebut.
Sejak berlakunya Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah nomor 74 Tahun 2011, untuk mendapatkan pengembalian kelebihan pajak terdapat tiga pintu yaitu:
[1.] verifikasi
[2.] pemeriksaan, dan
[3.] penelitian.
Untuk jenis restitusi yang bagaimanakah ketiga pintu restitusi tersebut? Saya jelaskan dibawah ini.
Secara umum, restitusi pajak diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
1. PASAL 17 ayat (1) Undang-Undang KUP
Bagaimana cara meminta restitusi? Banyak orang mengira bahwa resitusi pajak harus melalui "pintu" pemeriksaan. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah karena sebelum modernisasi, sepengetahuan saya semua restitusi memang harus diperiksa. Restitusi diatur di Pasal 17 Undang-Undang KUP. Pasal itu memang mengatur tentang Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB). Perkembangan selanjutnya, Pasal 17 Undang-Undang KUP sudah "bertambah". Tetapi sejak sejak modernisasi dan berlakunya Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007 ada beberapa ketentuan baru yang memungkinkan restitusi tanpa melalui "pintu" pemeriksaan. Ditambah lagi kebijakan DJP sejak tahun 2014 ini yang memberikan target audit coverage ratio (ACR) tertentu. Sebelumnya, fungsi pemeriksaan lebih fokus kepada "keamanan" restitusi dan memastikan bahwa Wajib Pajak benar-benar berhak atas restitusi tersebut.
Sejak berlakunya Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah nomor 74 Tahun 2011, untuk mendapatkan pengembalian kelebihan pajak terdapat tiga pintu yaitu:
[1.] verifikasi
[2.] pemeriksaan, dan
[3.] penelitian.
Untuk jenis restitusi yang bagaimanakah ketiga pintu restitusi tersebut? Saya jelaskan dibawah ini.
Secara umum, restitusi pajak diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
1. PASAL 17 ayat (1) Undang-Undang KUP
Direktur Jenderal Pajak, setelah
melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila
jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah
pajak yang terutang.
2. PASAL 17 ayat (2) Undang-Undang KUP
Berdasarkan permohonan Wajib Pajak,
Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak,
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran pajak
yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
3. PASAL 17B ayat (1)
Undang-Undang KUP
Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak,
selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas)
bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
4. PASAL 17C ayat (1)
Undang-Undang KUP
Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan
sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
5. PASAL 9ayat (4c) Undang-Undang
PPN
Pengembalian kelebihan Pajak Masukan
kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai
dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko
rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
6. PASAL 17D ayat (1)
Undang-Undang KUP
Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan
sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling
lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Pertambahan Nilai.
7. PASAL 17E Undang-Undang
KUP
Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang
melakukan pembelian Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yang tidak
dikonsumsi di daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak Pertambahan
Nilai yang telah dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
RESTITUSI PASAL 17
Peraturan Menteri Keuangan nomor 145/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak menyebutkan bahwa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap:
- Surat Pemberitahuan terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP; atau
- permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
Peraturan Menteri Keuangan ini mengatur bahwa restitusi
melaui pintu pemeriksaan. Kriteria atau alasan dilakukannya pemeriksaan ada dua
macam yaitu karena SPT Wajib Pajak lebih bayar tetapi Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan restitusi. Dan kedua
karena permohonan restitusi Wajib Pajak baik melalui media SPT maupun surat
khusus yang terpisah dengan SPT. Ada perbedaan antara yang tidak mengajukan
permohonan dengan yang mengajukan permohonan, yaitu jatuh tempo penerbitan
ketetapan. Dalam hal tidak mengajukan permohonan restitusi maka jatuh tempo
penerbitan ketetapan pajak bersamaan dengan daluwarsa penerbitan ketetapan
pajak. Sedangka yang mengajukan permohonan restitusi jatuh tempo 12 bulan sejak
SPT diterima langkap.
Sedangkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 198/PMK.03/2013 mengatur bahwa setelah dilakukan penelitian terhadap SPT Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak dan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP. Pemberitahuan ini dikarenakan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak tidak diterbitkan.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-28/PJ/2013 mengatur lebih lanjut kebijakan pemeriksaan restitusi jenis ini. Pemeriksaan restitusi Pasal 17 ayat (1) termasuk kriteria Pemeriksan Rutin. Pemeriksaan Rutin merupakan pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Pemeriksaan Rutin terhadap Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
Sedangkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 198/PMK.03/2013 mengatur bahwa setelah dilakukan penelitian terhadap SPT Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak dan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP. Pemberitahuan ini dikarenakan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak tidak diterbitkan.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-28/PJ/2013 mengatur lebih lanjut kebijakan pemeriksaan restitusi jenis ini. Pemeriksaan restitusi Pasal 17 ayat (1) termasuk kriteria Pemeriksan Rutin. Pemeriksaan Rutin merupakan pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Pemeriksaan Rutin terhadap Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
- pelaksanaan pemeriksaannya bersifat wajib;
- memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan;
- penerbitan ketetapan pajak harus dilakukan sebelum daluwarsa penetapan;
- dilakukan dengan jenis pemeriksaan lapangan; dan
- ruang lingkup pemeriksaan meliputi satu jenis pajak.
Berdasarkan dua ketentuan diatas, maka saya berkesimpulan bahwa restitusi Pasal 17 ayat (1) yang jatuh temponya bersamaan dengan daluwarsa penetapan ada dua jenis, pertama berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 198/PMK.03/2013 yang masuk ke penelitian. Dengan masuknya ke penelitian berarti semua Kantor Pelayanan Pajak akan memproses restitusi tersebut berdasarkan Pasal 17D (Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu). Tetapi karena sebab-sebab tertentu, kemudian Kantor Pelayanan Pajak tidak jadi menerbitkan SKPPKP (Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak). Sehingga atas restitusi tersebut kemudian dilakukan pemeriksaan dan masuk jalur Pasal 17 ayat (1). Terhadap "perubahan arah" ini, maka Kantor Pelayanan Pajak akan memberikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak. Sebaliknya jenis yang kedua, bahwa restitusi itu bukan kemauan Wajib Pajak. Ini yang dimaksud Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-28/PJ/2013. Tetapi berdasarkan penelitian internal DJP ternyata SPT Wajib Pajak seharusnya lebih bayar. Berbeda dengan yang pertama. Kalau yang pertama sejak awal SPT Wajib Pajak memang menyatakan lebih bayar dan meminta restitusi berdasarkan Pasal 17B atau Pasal 17D.
Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan nomor 198/PMK.03/2013 mengatur:
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak tidak diterbitkan dalam hal berdasarkan hasil penelitian menunjukkan:
- tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak;
- Surat Pemberitahuan beserta lampirannya tidak lengkap;
- penulisan dan penghitungan pajak tidak benar;
- kredit pajak atau Pajak Masukan berdasarkan sistem aplikasi Direktorat Jenderal Pajak tidak benar;
- pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak benar; atau
- Wajib Pajak dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Prosedur penelitian sebenarnya berbeda dengan pemeriksaan. Asumsi dasar penelitian adalah semua dokumen lengkap. Sehingga proses penelitian hanya check list dan melakukan pengujian matematis, yaitu pertambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Selain itu, resitusi yang dimaksud Peraturan Menteri Keuangan nomor 198/PMK.03/2013 sebenarnya untuk Wajib Pajak yang beresiko rendah. Karena itu untuk Wajib Pajak yang terbukti sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan maka dianggap atas Wajib Pajak tersebut beresiko tinggi.
Ada satu lagi prinsip yang "kelupaan" dimasukkan dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 198/PMK.03/2013, yaitu prinsip knowing your taxpayer. Bagaimanapun Wajib Pajak "siluman" tidak mungkin disebut resiko rendah. Wajib Pajak yang tidak bisa dihubungi dialamat yang tercantum dalam database DJP harusnya termasuk sekurang-kurangnya resiko sedang. Dalam hal restitusi, maka atas kelebihan pajak ini nantinya akan ditransfer langsung oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara kepada rekening Wajib Pajak. Setelah menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, Kantor Pelayanan Pajak akan meminta rekening Wajib Pajak yang akan menampung restitusi. Kemudian setelah datanya lengkap, Kantor Pelayanan Pajak menyampaikan rekening tersebut kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara. Jadi, restitusi itu bukan ditransfer dari Kantor Pajak!
Berdasarkan "syarat resiko rendah" dan prinsip knowing your taxpayer maka terhadap Wajib Pajak yang tidak dapat dihubungi baik dengan email, telepon, maupun surat maka proses restitusinya seharusnya masuk jalur Pasal 17 ayat (1) ini yang jatuh temponya bersamaan dengan daluwarsa penetapan.
PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG
Restitusi pajak yang seharusnya tidak terutang diatur secara khusus dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 10/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengembalian Atas Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang. Menurut peraturan ini, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal:
- terdapat pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang. Pembayaran yang termasuk kelompok ini dapat berupa: pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang lebih besar dari pajak yang terutang, pembayaran pajak atas transaksi yang dibatalkan, pembayaran pajak yang seharusnya tidak dibayar, pembayaran pajak oleh Wajib Pajak terkait dengan permintaan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP yang tidak disetujui.
- terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut. Kesalahan yang termasuk kelompok ini dapat berupa: pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut, termasuk yang diatur dalam P3B; pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh bukan subjek pajak; pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terhadap bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut; atau pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut.
- terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak. Kesalahan yang termasuk kelompok ini dapat berupa: pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut; pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak dipungut; atau pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak dipungut.
- terdapat kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang terkait dengan pajak-pajak dalam rangka impor. Kelebihan pembayaran pajak yang terkait dengan pajak-pajak dalam rangka impor meliputi Pajak Penghasilan Pasal 22 impor, Pajak Pertambahan Nilai impor, dan/atau Pajak Penjualan Barang Mewah impor yang telah dibayar dan menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak. Pembayaran pajak yang terkait dengan pajak-pajak dalam rangka impor tercantum dalam: SPTNP atau SPKTNP; SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan; SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan dan putusan banding; SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan, putusan banding, dan putusan peninjauan kembali; SPKTNP yang telah diterbitkan putusan banding; SPKTNP yang telah diterbitkan putusan banding dan putusan peninjauan kembali; atau dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang,
Permohonan untuk memperoleh
pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak diajukan atas suatu bukti
pembayaran, bukti pemotongan/pemungutan pajak, faktur pajak atau dokumen lain
yang dipersamakan dengan faktur pajak. Permohonan diajukan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan format sesuai contoh:
Contoh
surat permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang.
|
Terhadap permohonan resitusi karena pajak yang seharusnya
tidak terutang ini, kantor pajak akan melakukan verifikasi.
Verifikasi ini adalah prosedur baru di DJP setelah terbitnya Peraturan
Pemerintah nomor 74 Tahun 2011. Menurut definisinya, verifikasi
adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan
objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan Wajib
Pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau
diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan
pajak, menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Dalam hal untuk melakukan verifikasi diperlukan tambahan dokumen pendukung lainnya yang terkait dengan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, DJP dapat meminta dokumen tersebut kepada Wajib Pajak. Biasanya dokumen-dokumen yang perlu adalah bukti pembayaran pajak seperti Surat Setoran Pajak (SSP). Bisa juga Surat Pemberitahuan Pajak baik SPT Badan jidak terkait PPh maupun SPT Masa PPN. Jika semuanya sudah sesuai ketentuan yang berlaku, maka akan diterbitkan SKPLB (surat ketetapan pajak lebih bayar).
Dalam rangka verifikasi, petugas akan memastikan bahwa pajak yang direstitusikan sudah dibayar di bank persepsi dengan mengecek NTPN. Kemudian mengecek apakah sudah dikreditkan di SPT. Kalau terkait PPh Pasal 22, apakah sudah dikreditkan di PPh Badan atau belum. Kalau terkait PPN impor, apakah sudah dikreditkan sebagai pajak masukan atau belum, atau apakah sudah dibiayakan atau belum.
Sebelum surat ketetapan pajak diterbitkan, maka akan diberikan SPHV (surat pemberitahuan hasil verifikasi). Setelah itu Wajib Pajak dapat menanggapi SPHV. Jika tidak setuju dapat memberikan bukti-bukti pendukung yang mungkin belum diperhitungkan oleh petugas. Dan petugas harus memberikan undangan pembahasan verifikasi. Jika tanpa undangan ini, maka atas ketetapan pajaknya dapat dibatalkan. Tata cara verifikasi lebih lengkap dapat dilihat di Peraturan Menteri Keuangan nomor 146/PMK.03/2012. Atau bisa juga disini.
RESTITUSI DENGAN SKP
Dalam hal untuk melakukan verifikasi diperlukan tambahan dokumen pendukung lainnya yang terkait dengan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, DJP dapat meminta dokumen tersebut kepada Wajib Pajak. Biasanya dokumen-dokumen yang perlu adalah bukti pembayaran pajak seperti Surat Setoran Pajak (SSP). Bisa juga Surat Pemberitahuan Pajak baik SPT Badan jidak terkait PPh maupun SPT Masa PPN. Jika semuanya sudah sesuai ketentuan yang berlaku, maka akan diterbitkan SKPLB (surat ketetapan pajak lebih bayar).
Dalam rangka verifikasi, petugas akan memastikan bahwa pajak yang direstitusikan sudah dibayar di bank persepsi dengan mengecek NTPN. Kemudian mengecek apakah sudah dikreditkan di SPT. Kalau terkait PPh Pasal 22, apakah sudah dikreditkan di PPh Badan atau belum. Kalau terkait PPN impor, apakah sudah dikreditkan sebagai pajak masukan atau belum, atau apakah sudah dibiayakan atau belum.
Sebelum surat ketetapan pajak diterbitkan, maka akan diberikan SPHV (surat pemberitahuan hasil verifikasi). Setelah itu Wajib Pajak dapat menanggapi SPHV. Jika tidak setuju dapat memberikan bukti-bukti pendukung yang mungkin belum diperhitungkan oleh petugas. Dan petugas harus memberikan undangan pembahasan verifikasi. Jika tanpa undangan ini, maka atas ketetapan pajaknya dapat dibatalkan. Tata cara verifikasi lebih lengkap dapat dilihat di Peraturan Menteri Keuangan nomor 146/PMK.03/2012. Atau bisa juga disini.
RESTITUSI DENGAN SKP
RESTITUSI DENGAN
SKPLB
Restitusi dengan SKPLB yang dimaksud disini adalah restitusi dengan "pintu" Pasal 17B Undang-Undang KUP. Seperti kutipan diatas, Pasal 17B mengharuskan Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Pada prakteknya tentu saja yang melakukan pemeriksaan adalah pemeriksa pajak atas perintah Direktur Jenderal Pajak. Dan yang memberikan surat perintah pemeriksaan bukan Direktur Jenderal Pajak langsung tetap Kepala UP2 yang telah diberikan pendelegasian wewenang.
Surat permohonan yang dimaksud bisa surat terpisah dari SPT yang menyatakan lebih bayar atau bisa hanya SPT saja. Ada bagian di SPT sebelum tanda tangan yang harus dipilih oleh Wajib Pajak. Dengan mengisi pilihan tersebut berarti dianggap permohonan.
Restitusi dengan SKPLB yang dimaksud disini adalah restitusi dengan "pintu" Pasal 17B Undang-Undang KUP. Seperti kutipan diatas, Pasal 17B mengharuskan Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Pada prakteknya tentu saja yang melakukan pemeriksaan adalah pemeriksa pajak atas perintah Direktur Jenderal Pajak. Dan yang memberikan surat perintah pemeriksaan bukan Direktur Jenderal Pajak langsung tetap Kepala UP2 yang telah diberikan pendelegasian wewenang.
Surat permohonan yang dimaksud bisa surat terpisah dari SPT yang menyatakan lebih bayar atau bisa hanya SPT saja. Ada bagian di SPT sebelum tanda tangan yang harus dipilih oleh Wajib Pajak. Dengan mengisi pilihan tersebut berarti dianggap permohonan.
Dalam hal setelah menyampaikan Surat Pemberitahuan ke kantor pajak dan Wajib Pajak sudah diberikan LPAD (Lembar Pengawasan Arus Dokumen) maka terhadap Surat Pemberitahuan tersebut sudah dianggap lengkap. Tetapi jika belum diberikan LPAD maka kantor pajak akan meminta kelengkapan yang diperlukan. Tetapi sebenarnya, walaupun sudah diberikan LPAD, bisa saja kantor pajak menganggap masih belum lengkap sehingga meminta kelengkapan lain yang belum atau terlupakan saat penyampaian SPT. Atau bisa juga kantor pajak justru menyatakan bahwa Surat Pemberitahuannya dianggap bukan Surat Pemberitahuan. Kewenangan ini diatur di Pasal 3 ayat (7) Undang-Undang KUP. Bagian penjelasan ayat ini mengatakan, "Surat Pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya adalah satu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan Surat Pemberitahuan. Oleh karena itu, Surat Pemberitahuan dari Wajib Pajak yang disampaikan, tetapi tidak dilengkapi dengan lampiran yang dipersyaratkan, tidak dianggap sebagai Surat Pemberitahuan dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal demikian, Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan."
Dalam hal kantor pajak menganggap tidak disampaikan, maka kantor pajak wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak. Nah, jika Wajib Pajak menerima surat pemberitahuan seperti ini, Wajib Pajak wajib hukumnya menanyakan dan melengkapi kekurangannya. Jika tidak, maka SPT yang menyatakan lebih bayar tersebut dianggp bukan SPT dan dianggap bukan permohonan restitusi.
Penjelasan lebih renci terkait pemeriksaan
dapat dilihat di laman sebelah.
Silakan. Tetapi secara singkat, tahapan restitusi dengan pemeriksaan didahului
dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau Surat
Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor. Setelah itu, ada prosedur peminjaman
dokumen, SPHP, Pembahasan, dan penerbitkan surat ketetapan pajak.
RESTITUSI DENGAN KRITERIA TERTENTU
Restitusi dengan kriteria tertentu yang dimaksud disini adalah restitusi untuk Wajib Pajak Patuh. Peraturan Menteri Keuangan nomor 74/PMK.03/2012 telah menentukan kriteria-kriteria agar Wajib Pajak bisa ditetapkan sebagai Wajib Pajak Patuh. Kriteria kepatuhan disini lebih kepada kepatuhan formal yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Berikut kriteria Wajib Pajak Patuh:
[a.] tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
[a.1.] penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan selama 3 (tiga) Tahun Pajak terakhir yang wajib disampaikan sampai dengan akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu dilakukan tepat waktu;
Restitusi dengan kriteria tertentu yang dimaksud disini adalah restitusi untuk Wajib Pajak Patuh. Peraturan Menteri Keuangan nomor 74/PMK.03/2012 telah menentukan kriteria-kriteria agar Wajib Pajak bisa ditetapkan sebagai Wajib Pajak Patuh. Kriteria kepatuhan disini lebih kepada kepatuhan formal yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Berikut kriteria Wajib Pajak Patuh:
[a.] tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
[a.1.] penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan selama 3 (tiga) Tahun Pajak terakhir yang wajib disampaikan sampai dengan akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu dilakukan tepat waktu;
[a.2.] penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam
tahun terakhir sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu
untuk Masa Pajak Januari sampai November tidak
lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak
berturut-turut;
[a.3.] Surat
Pemberitahuan Masa yang terlambat telah disampaikan tidak lewat
dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya;
dan
[a.4.] seluruh
Surat Pemberitahuan Masa dalam tahun terakhir sebelum tahun penetapan
Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari sampai November telah
disampaikan.
[b.] tidak
mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis
pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur
atau menunda pembayaran pajak, yaitu keadaan Wajib Pajak pada tanggal 31
Desember tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu.
[c.] Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, yaitu laporan keuangan yang dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang wajib disampaikan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sampai dengan akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu.
[d.] tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Menurut bagian penjelasan Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 bahwa tujuan pemberian pengembalian ini untuk mendorong Wajib Pajak patuh melaksanakan kewajiban perpajakan. Inilah bunyi lengkapnya, "Pemberian pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak merupakan bentuk kemudahan yang diberikan kepada Wajib Pajak untuk mendorong agar Wajib Pajak menjadi patuh dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Setelah Wajib Pajak ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang sering dikenal sebagai "Wajib Pajak Patuh" maka diharapkan Wajib Pajak tersebut selalu patuh dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya."
Wajib Pajak dapat mengajukan diri untuk mendapatkan "status" Wajib Pajak Patuh. Batas waktu pengajuan permohonan untuk menjadi Wajib Pajak Patuh paling lambat tanggal 10 Januari pada tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu. Paling lambat tanggal 20 Februari Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan Keputusan mengenai penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu.
Peraturan Menteri Keuangan nomor
74/PMK.03/2012 mengatur Wajib Pajak Patuh dilihat dari kepatuhan penyampaian
SPT PPh. Sedangkan untuk kepatuhan penyampaian SPT Masa PPN diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan nomor 71/PMK.03/2010 tentang Pengusaha Kena
Pajak Beresiko Rendah Yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.
Dasar hukum Pengusaha Kena Pajak Beresiko Rendah adalah Pasal 9 ayat (4c)
Undang-Undang PPN.
Penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) beresiko rendah diberikan untuk PKP yang tidak pernah dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan terakhir dan:
[a.] Perusahaan Terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari keseluruhan saham disetornya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
[b.] perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; atau
[c.] produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang memenuhi persyaratan tertentu.
Penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) beresiko rendah diberikan untuk PKP yang tidak pernah dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan terakhir dan:
[a.] Perusahaan Terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari keseluruhan saham disetornya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
[b.] perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; atau
[c.] produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang memenuhi persyaratan tertentu.
PKP persyaratan tertentu
untuk mendapatkan PKP beresiko rendah, yaitu:
- tepat waktu dalam penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai selama 12 (dua belas) bulan terakhir,
- nilai Barang Kena Pajak yang dijual pada tahun sebelumnya paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) adalah produksi sendiri; dan
- Laporan Keuangan untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Dengan Pengecualian.
Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak Beresiko Rendah dan Wajib Pajak Patuh dapat meminta pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Restitusi pajak dilakukan dengan
penelitian, bukan pemeriksaan. Dan setelah dilakukan penelitian, kantor pajak
akan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelbihan Pajak
(SKPPKP). Menurut Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang KUP, bahwa SKPPKP
diterbitkan paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima
secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai
RESTITUSI DENGAN PERSYARATAN TERTENTU
Berdasarkan Pasal 17D ayat (1) Undang-Undang KUP bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan SKPPKP setelah dilakukan penelitian. Pemberian SKPPKP yang berdasarkan Pasal 17D adalah untuk Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu. Apa sebenarnya maksud persayaratan tertentu? Apa bedanya dengan kriteria tertentu?
Pada dasarnya kriteria tertentu sebagaimana dimaksud Pasal 17C adalah Wajib Pajak Patuh. Ya, kriteria disini menunjukkan Wajib Pajak tersebut telah membuktikan secara konsisten, setidaknya pada periode tertentu, memenuhi kepatuhan formal. Dilihat dari sisi manajemen risiko, Pasal 17C dianggap memiliki risiko rendah.
Sebenarnya Pasal 17D juga memiliki anggapan yang sama, yaitu DJP memandang Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu ini memiliki risiko rendah. Hanya saja, perbedaannya antara 17C dengan 17D adalah dari sisi nominal restitusi. Pasal 17D dimaksudkan untuk restitusi "recehan". Karena itu, Peraturan Menteri Keuangan nomor 178/PMK.03/2013 mengatur persyaratan tertentu seperti ini:
RESTITUSI DENGAN PERSYARATAN TERTENTU
Berdasarkan Pasal 17D ayat (1) Undang-Undang KUP bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan SKPPKP setelah dilakukan penelitian. Pemberian SKPPKP yang berdasarkan Pasal 17D adalah untuk Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu. Apa sebenarnya maksud persayaratan tertentu? Apa bedanya dengan kriteria tertentu?
Pada dasarnya kriteria tertentu sebagaimana dimaksud Pasal 17C adalah Wajib Pajak Patuh. Ya, kriteria disini menunjukkan Wajib Pajak tersebut telah membuktikan secara konsisten, setidaknya pada periode tertentu, memenuhi kepatuhan formal. Dilihat dari sisi manajemen risiko, Pasal 17C dianggap memiliki risiko rendah.
Sebenarnya Pasal 17D juga memiliki anggapan yang sama, yaitu DJP memandang Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu ini memiliki risiko rendah. Hanya saja, perbedaannya antara 17C dengan 17D adalah dari sisi nominal restitusi. Pasal 17D dimaksudkan untuk restitusi "recehan". Karena itu, Peraturan Menteri Keuangan nomor 178/PMK.03/2013 mengatur persyaratan tertentu seperti ini:
- Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi;
- Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
- Wajib Pajak badan yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); atau
- Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Paradigma yang dibangun Peraturan Menteri Keuangan ini adalah mempermudah dan pelayanan. Prosedur pelaksanaannya dipermudah dengan melalui penelitian saja! Pelayanan dimaksud dengan mempercepat proses restitusi. Walaupun demikian, pimpinan DJP tetap memberikan satu saringan agar tidak semua "recehan" tersebut diperlakukan sebagai yang memiliki risiko rendah. Apa itu? Restitusi untuk Wajib Pajak "recehan" ini tetap harus didasarkan pada analisis risiko yang pedomannya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Analisis risiko yang ditetapkan Dirjen Pajak telah dituangkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-12/PJ/2014. Dibawah ini kutipan SE-12/PJ/2014 terkait analisis risiko.
Analisis Risiko terhadap Permohonan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Terkait SPT Tahunan Pajak Penghasilan:
- Kepatuhan penyampaian SPT terpenuhi dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk 1 (satu) Tahun Pajak terakhir yang sudah menjadi kewajiban untuk disampaikan sebelum Tahun Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
- Kepatuhan dalam melunasi utang pajak terpenuhi dalam hal: Wajib Pajak tidak memiliki utang pajak atau Wajib Pajak memiliki utang pajak namun terhadap utang pajak tersebut belum diterbitkan Surat Paksa.
- Kebenaran SPT untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sebelumnya, merupakan kebenaran formal dan terpenuhi dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan dan lampiran-lampirannya, untuk 1 (satu) Tahun Pajak terakhir yang sudah menjadi kewajiban untuk disampaikan sebelum Tahun Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, yang dibuktikan dengan telah diterbitkannya tanda terima SPT.
Analisis Risiko terhadap Permohonan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Terkait SPT Masa Pajak
Pertambahan Nilai:
- Kepatuhan penyampaian SPT terpenuhi dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir yang sudah menjadi kewajiban untuk disampaikan sebelum Masa Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
- Kepatuhan dalam melunasi utang pajak terpenuhi dalam hal: Wajib Pajak tidak memiliki utang pajak atau Wajib Pajak memiliki utang pajak namun terhadap utang pajak tersebut belum diterbitkan Surat Paksa.
- Kebenaran SPT untuk Masa Pajak sebelum-sebelumnya sebagaimana dimaksud pada butir 1 huruf c merupakan kebenaran formal dan terpenuhi dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai dan lampiran-lampirannya untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir yang sudah menjadi kewajiban untuk disampaikan sebelum Masa Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, yang dibuktikan dengan telah diterbitkannya Bukti Penerimaan Surat (BPS).
Prosedur analisis ini juga
dimaksudkan untuk menentukan jalur 17B atau jalur 17D. Jika masuk jalur 17B
maka masuk ke pemeriksaan. Jika masuk jalur 17D maka masuk ke penelitian.
Tetapi tidak semua yang masuk jalur 17D dan dilakukan penelitian akan otomatis
terbit SKPPKP. Bisa jadi setelah dilakukan penelitian terdapat hal-hal yang
menurut peneliti "beresiko sedang atau tinggi". Dalam hal peneliti
memutuskan tidak menerbitkan SKPPKP maka diteruskan ke prosedur 17 ayat (1)
seperti yang dijelas diatas, yaitu melalui pemeriksaan
dengan jatuh tempo sama dengan daluwarsa penetapan.
Ini salah satu perbedaan aturan 2014 dengan sebelumnya. Peraturan Menteri Keuangan nomor 54/PMK.03/2009 masih memberikan pilihan kepada Wajib Pajak apakah mau penelitian atau pemeriksaan. Jika melalui "pintu" penelitian maka akan diberikan SKPPKP tetapi jika kemudian hari diperiksa akan dikenakan sanksi kenaikan 100%. Sanksi ini yang sering menjadi pertimbangan Wajib Pajak untuk tidak memilih pintu penelitian. Wajib Pajak cenderung memilih pemeriksaan. Sedangkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 198/PMK.03/2013 DJP lebih menentukan apakah atas kelebihan pajak tersebut diproses melalui pintu penelitian atau pemeriksaan. Bisa jadi sejak awal DJP langsung mengarahkan melalui pintu pemeriksaan. Tetapi ada juga yang semula dilakukan penelitian, tetapi karena sebab tertentu kemudian dilakukan pemeriksaan dan memutuskan tidak menerbitkan SKPPKP.
Ini salah satu perbedaan aturan 2014 dengan sebelumnya. Peraturan Menteri Keuangan nomor 54/PMK.03/2009 masih memberikan pilihan kepada Wajib Pajak apakah mau penelitian atau pemeriksaan. Jika melalui "pintu" penelitian maka akan diberikan SKPPKP tetapi jika kemudian hari diperiksa akan dikenakan sanksi kenaikan 100%. Sanksi ini yang sering menjadi pertimbangan Wajib Pajak untuk tidak memilih pintu penelitian. Wajib Pajak cenderung memilih pemeriksaan. Sedangkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 198/PMK.03/2013 DJP lebih menentukan apakah atas kelebihan pajak tersebut diproses melalui pintu penelitian atau pemeriksaan. Bisa jadi sejak awal DJP langsung mengarahkan melalui pintu pemeriksaan. Tetapi ada juga yang semula dilakukan penelitian, tetapi karena sebab tertentu kemudian dilakukan pemeriksaan dan memutuskan tidak menerbitkan SKPPKP.
Peraturan Menteri Keuangan nomor
198/PMK.03/2013 menyebut alasan tidak terbitnya SKPPKP:
- tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak;
- Surat Pemberitahuan beserta lampirannya tidak lengkap;
- penulisan dan penghitungan pajak tidak benar;
- kredit pajak atau Pajak Masukan berdasarkan sistem aplikasi Direktorat Jenderal Pajak tidak benar;
- pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak benar; atau
- Wajib Pajak dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Asumsi yang dipakai pada saat
pembuatan Peraturan Menteri Keuangan nomor 198/PMK.03/2013 adalah
bahwa SPT Lebih Bayar yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah lengkap
beserta lampiran yang diperlukan. Artinya, SPT Lebih Bayar tersebut telah
dilengkapi SSP dan copy bukti potong baik bukti potong PPh Pasal 21
maupun PPh Pasal 23. Sehingga prosedur penelitian yang diatur diatas cukup
konfirmasi kredit pajak atau Pajak Masukan berdasarkan sistem aplikasi
Direktorat Jenderal Pajak tidak benar.
Hal yang sedikit
"mengacaukan" adalah prosedur penerimaan SPT melalui efiling.
Kenapa saya sebut mengacaukan? Karena prosedur penerimaan SPT melalui efiling
sampai dengan 2014 ini tidak ada unggah (upload) dokumen. Artinya, SPT
yang diterima oleh DJP belum dilengkapi oleh lampiran. Pada prakteknya, memang
atas SPT yang menyatakan lebih bayar ini sering memusingkan petugas di KPP
untuk "sekedar" meyakinkan "darimana lebih bayarnya?". Memusingkan
karena seringkali Wajib Pajak justru tidak bermaksud meminta restitusi. Hal ini
diketahui setelah beberapa Wajib Pajak yang saya telpon menjawab seperti itu.
Tapi kenapa lebih bayar? Ada banyak varian penyebab lebih bayar, diantaranya:
[a.] pada saat input efiling,
aplikasi mengisi otomatis dan Wajib Pajak tidak tahu bagaimana melakukan
edit.
[b.] Wajib Pajak tidak melakukan
pengecekan status PTKP di Form 1721-A1 sehingga terdapat perbedaan dengan yang
dimasukkan di efiling.
[c.] perbedaan pembulatan penghasila
kena pajak antara PPh Pasal 21 dan efiling. Biasanya akibat lebih bayar karena
pembulatan ini menghasilkan lebih bayar ratusan atau puluhan rupiah saja!
Seperti yang saya tekankan diatas
bahwa perlunya DJP menerapkan prinsip knowing your taxpayer dalam
rangka restitusi dengan persyaratan tertentu ini. Dalam hal terbukti Wajib
Pajak tidak kooperatif maka pendapat saya sebaiknya masuk jalur 17 ayat (1).
Prosedur penelitian pada prinsipnya permohonan. Wajib Pajak memohon restitusi
disertai dokumen yang lengkap. Setelah itu, peneliti melakukan cross check.
Memastikan validitas dokumen yang disampaikan. Dalam hal peneliti meyakini
dokumen yang disampaikan maka diterbitkan SKPPKP!
Contoh
Nota Penghitungan sudah menyiapkan semua kemungkinan. Nota Penghitungan
adalah dokumen terakhir setelah dilakukan penelitian, verifikasi, atau
pemeriksaan sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak atau surat keputusan
|
VAT REFUND
VAT Fefund dilakukan berdasarkan Pasal 17E Undang-Undang KUP. Subjek VAT Refund adalah subjek pajak luar negeri (WPOP Luar Negeri) yang melakukan pembelian BKP di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean. Status WPOP Luar Negeri dibuktikan dengan adanya paspor luar negeri dan:
- bukan Warga Negara Indonesia atau bukan permanent resident of Indonesia, yang tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 2 (dua) bulan sejak tanggal kedatangannya; dan/atau
- bukan kru dari maskapai penerbangan.
PPN yang dapat dikembalikan adalah PPN atas barang bawaan. Barang Bawaan
adalah Barang Kena Pajak yang dibeli oleh Orang Pribadi dari Toko Retail dan
dibawa keluar Daerah Pabean oleh yang bersangkutan dengan menggunakan moda
transportasi pesawat udara, melalui bandar udara. Menurut Peraturan Menteri
Keuangan nomor 76/PMK.03/2010 ada pengecualian
barang bawaan yang tidak dapat dimintakan restitusi yaitu:
- makanan, minuman, produk-produk tembakau;
- senjata api dan bahan peledak; dan
- barang yang dilarang dibawa ke dalam pesawat.
Begitu juga dengan toko tempat belanja, tidak semua PPN yang dibayar di toko
retail bisa dimintakan restitusi. Hanya toko retail yang memenuhi syarat yaitu
toko yang menjual Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, serta berpartisipasi dalam skema
pengembalian Pajak Pertambahan Nilai kepada Orang Pribadi, dan telah ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak. Adapun lokasi toko retail yang telah ditunjuk
oleh DJP dapat dilihat disini.
penjelasan lebih lanjut terkait dengan prosedur bisa dilihat di pajak.go.id
penjelasan lebih lanjut terkait dengan prosedur bisa dilihat di pajak.go.id
Post a Comment
Post a Comment