Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
158/PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Kesenian dan Hiburan yang Tidak
Dikenai Pajak Pertambahan Nilai ternyata menimbulkan salah persepsi
di tengah masyarakat.
Berdasarkan aturan baru tersebut beberapa jenis hiburan yang ditegaskan untuk tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yakni:
Pajak Pusat dan Pajak Daerah
Yang harus dicermati adalah, Pemerintah selalu berusaha untuk menjaga kewenangan pemajakan, karena Indonesia mengenal adanya Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat dipungut oleh Pemerintah Pusat melalui kewenangan yang diberikan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Sedangkan Pajak Daerah dipungut oleh Pemerintah Daerah melalui Satuan Kerja Pendapatan Daerah yang dimilikinya.
Pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mulai 1 Januari 2010, PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi Pajak Daerah, sedangkan PBB Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan masih tetap merupakan Pajak Pusat.
Pajak Daerah yang dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Pajak Provinsi meliputi: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok. Sedangkan Pajak Kabupaten/Kota meliputi: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak sarang Burung Walet, PBB Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
Pembebasan PPN, Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Pada pasal 4A Undang-Undang (UU) PPN, ditegaskan berbagai barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, dengan salah satu alasan terkait penghindaran pajak berganda (dipungut oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah), diantaranya:
Aturan pengenaan PPN ini ditegaskan dalam pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012, sebagai berikut:
Pajak Restoran dan Pajak Hiburan
Sebagai contoh adalah pemungutan pajak restoran dan hiburan. UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD, UU Nomor 28/2009) tidak menetapkan besarnya tarif pajak restoran dan hiburan suatu daerah, namun menentukan batas tarif pajak tertinggi yang dapat dipungut daerah.
Untuk tarif pajak restoran, Pasal 40 Ayat (1) UU PDRD menentukan batas tertinggi 10 %. Sedangkan sesuai pengaturan Pasal 45 Ayat (1) UU PDRD, tarif pajak hiburan tertinggi ditentukan sebesar 35 %.
Karena berdasar Pasal 45 Ayat (1) dan Pasal 40 Ayat (2) UU PDRD baik tarif pajak hiburan maupun tarif pajak restoran harus ditetapkan Peraturan Daerah (PERDA), maka pemungutan pajaknya merujuk pada PERDA tiap-tiap daerah untuk mengetahui besarnya tarif pajak tersebut.
Sebagai contoh, dapat disimak pemungutan pajak restoran dan hiburan di DKI Jakarta. Sebagai pemerintah daerah setingkat daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berhak untuk memungut pajak hiburan.
Khusus untuk DKI Jakarta, besarnya tarif pajak restoran ditetapkan sebesar 10 % berdasarkan Pasal 7 PERDA DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2011. Sedangkan untuk besarnya tarif pajak hiburan menurut Pasal 7 PERDA DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015 adalah seperti berikut:
Menarik untuk mencermati kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang menerapkan tarif tertinggi sebesar 35% untuk panti pijat, mandi uap dan spa; serta tarif yang cukup tinggi sebesar 25% untuk diskotik, karaoke, klab malam, pub, bar, musik hidup (live music), musik dengan Disc Jockey (DJ) dan sejenisnya. Tentunya hal ini dapat dipandang sebagai upaya Pemprov DKI Jakarta untuk membatasi pelaku usaha atas jasa-jasa tersebut.
Mengakhiri Konflik, Memperbesar Kontribusi Kepada Negara
Tentunya dengan mencermati berbagai fakta di atas, konflik atas terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2015 sudah selayaknya diakhiri. Hal ini juga mempertimbangkan bahwa semua pelaku usaha, baik badan maupun orang pribadi masih diwajibkan untuk membayar PPh. Besaran tarif PPh badan diatur flat sebesar 25% dari keuntungan. Sedangkan besaran tarif PPh orang pribadi bersifat progresif 5%-30% dari keuntungan.
Mengingat peran vitalnya pajak bagi pembangunan, serta sebagai salah satu wujud bela negara, sudah selayaknya kita wujudkan masyarakat yang sadar dan peduli pajak, karena #PajakMilikBersama.
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan
Berdasarkan aturan baru tersebut beberapa jenis hiburan yang ditegaskan untuk tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yakni:
- Tontonan film;
- Tontonan pergelaran kesenian, tontonan pergelaran musik, tontonan pergelaran tari, dan/atau tontonan pergelaran busana;
- Tontonan kontes kecantikan, tontonan kontes binaraga, dan tontonan kontes sejenisnya;
- Tontonan berupa pameran;
- Diskotik, karaoke, klub malam, dan sejenisnya;
- Tontonan pertunjukan sirkus, tontonan pertunjukan akrobat, dan tontonan pertunjukan sulap;
- Tontonan pertandingan pacuan kuda, tontonan pertandingan kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan; serta
- Tontonan pertandingan olahraga.
Pajak Pusat dan Pajak Daerah
Yang harus dicermati adalah, Pemerintah selalu berusaha untuk menjaga kewenangan pemajakan, karena Indonesia mengenal adanya Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat dipungut oleh Pemerintah Pusat melalui kewenangan yang diberikan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Sedangkan Pajak Daerah dipungut oleh Pemerintah Daerah melalui Satuan Kerja Pendapatan Daerah yang dimilikinya.
Pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mulai 1 Januari 2010, PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi Pajak Daerah, sedangkan PBB Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan masih tetap merupakan Pajak Pusat.
Pajak Daerah yang dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Pajak Provinsi meliputi: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok. Sedangkan Pajak Kabupaten/Kota meliputi: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak sarang Burung Walet, PBB Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
Pembebasan PPN, Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Pada pasal 4A Undang-Undang (UU) PPN, ditegaskan berbagai barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, dengan salah satu alasan terkait penghindaran pajak berganda (dipungut oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah), diantaranya:
- Jenis barang yang tidak dikenai PPN, meliputi: barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan uang, emas batangan, dan surat berharga.
- Jenis jasa yang tidak dikenai PPN, meliputi: jasa pelayanan kesehatan medik, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parkir, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan jasa boga atau katering.
Aturan pengenaan PPN ini ditegaskan dalam pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012, sebagai berikut:
- Jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
- Ketentuan mengenai kriteria dan/atau rincian barang dan jasa yang termasuk dalam jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pajak Restoran dan Pajak Hiburan
Sebagai contoh adalah pemungutan pajak restoran dan hiburan. UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD, UU Nomor 28/2009) tidak menetapkan besarnya tarif pajak restoran dan hiburan suatu daerah, namun menentukan batas tarif pajak tertinggi yang dapat dipungut daerah.
Untuk tarif pajak restoran, Pasal 40 Ayat (1) UU PDRD menentukan batas tertinggi 10 %. Sedangkan sesuai pengaturan Pasal 45 Ayat (1) UU PDRD, tarif pajak hiburan tertinggi ditentukan sebesar 35 %.
Karena berdasar Pasal 45 Ayat (1) dan Pasal 40 Ayat (2) UU PDRD baik tarif pajak hiburan maupun tarif pajak restoran harus ditetapkan Peraturan Daerah (PERDA), maka pemungutan pajaknya merujuk pada PERDA tiap-tiap daerah untuk mengetahui besarnya tarif pajak tersebut.
Sebagai contoh, dapat disimak pemungutan pajak restoran dan hiburan di DKI Jakarta. Sebagai pemerintah daerah setingkat daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berhak untuk memungut pajak hiburan.
Khusus untuk DKI Jakarta, besarnya tarif pajak restoran ditetapkan sebesar 10 % berdasarkan Pasal 7 PERDA DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2011. Sedangkan untuk besarnya tarif pajak hiburan menurut Pasal 7 PERDA DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015 adalah seperti berikut:
- Tarif pajak untuk pertunjukan film di bioskop ditetapkan sebesar 10%;
- Tarif pajak untuk pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana yang berkelas lokal/tradisional sebesar 0%;
- Tarif pajak untuk pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana yang berkelas nasional sebesar 5%;
- Tarif pajak untuk pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana yang berkelas internasional sebesar 15%;
- Tarif pajak untuk kontes kecantikan yang berkelas lokal/tradisional sebesar 0%;
- Tarif pajak untuk kontes kecantikan yang berkelas nasional sebesar 5%;
- Tarif pajak untuk kontes kecantikan yang berkelas internasional sebesar 15%;
- Tarif pajak untuk pameran yang bersifat non komersial sebesar 0%;
- Tarif pajak untuk pameran yang bersifat komersial sebesar 10%;
- Tarif pajak untuk diskotik, karaoke, klab malam, pub, bar, musik hidup (live music), musik dengan Disc Jockey (DJ) dan sejenisnya sebesar 25%;
- Tarif pajak untuk sirkus, akrobat, dan sulap yang berkelas lokal/tradisional sebesar 0%;
- Tarif pajak untuk sirkus, akrobat, dan sulap yang berkelas nasional dan internasional sebesar 10%;
- Tarif pajak untuk permainan bilyar, bowling sebesar 10%;
- Tarif pajak untuk pacuan kuda yang berkelas lokal/tradisional sebesar 5%;
- Tarif pajak untuk pacuan kuda yang berkelas nasional dan tradisional sebesar 15%;
- Tarif pajak untuk pacuan kendaraan bermotor sebesar 15%;
- Tarif pajak untuk permainan ketangkasan sebesar 10%;
- Tarif pajak untuk panti pijat, mandi uap dan spa sebesar 35%;
- Tarif pajak untuk refleksi dan Pusat Kebugaran/Fitness Center sebesar 10%;
- Tarif pajak untuk pertandingan olahraga yang berkelas lokal/tradisional sebesar 0%;
- Tarif pajak untuk pertandingan olahraga yang berkelas nasional sebesar 5%;
- Tarif pajak untuk pertandingan olahraga yang berkelas internasional sebesar 15%.
Menarik untuk mencermati kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang menerapkan tarif tertinggi sebesar 35% untuk panti pijat, mandi uap dan spa; serta tarif yang cukup tinggi sebesar 25% untuk diskotik, karaoke, klab malam, pub, bar, musik hidup (live music), musik dengan Disc Jockey (DJ) dan sejenisnya. Tentunya hal ini dapat dipandang sebagai upaya Pemprov DKI Jakarta untuk membatasi pelaku usaha atas jasa-jasa tersebut.
Mengakhiri Konflik, Memperbesar Kontribusi Kepada Negara
Tentunya dengan mencermati berbagai fakta di atas, konflik atas terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2015 sudah selayaknya diakhiri. Hal ini juga mempertimbangkan bahwa semua pelaku usaha, baik badan maupun orang pribadi masih diwajibkan untuk membayar PPh. Besaran tarif PPh badan diatur flat sebesar 25% dari keuntungan. Sedangkan besaran tarif PPh orang pribadi bersifat progresif 5%-30% dari keuntungan.
Mengingat peran vitalnya pajak bagi pembangunan, serta sebagai salah satu wujud bela negara, sudah selayaknya kita wujudkan masyarakat yang sadar dan peduli pajak, karena #PajakMilikBersama.
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan
Post a Comment
Post a Comment